Kota inklusif menjamin ketersediaan fasilitas publik yang nyaman untuk semua termasuk kawan difabel (sebutan untuk penyandang disabilitas). Pada tahun 2023, 1 dari 12 orang di Indonesia merupakan penyandang disabilitas di Indonesia. Sehingga, hadirnya tempat yang setara diperlukan, salah satunya pada ruang-ruang transportasi. Akses terhadap transportasi yang aman, terjangkau, dan mudah perlu disediakan.
Namun pada kenyataannya, beberapa fasilitas transportasi umum masih belum memenuhi kebutuhan penyandang disabilitas. Beberapa kendala seperti infrastruktur yang tidak tersedia dan rusak masih kerap kali ditemui. Belum lagi ketika fasilitas yang ditujukan untuk pengguna prioritas, termasuk kawan difabel, justru digunakan oleh yang tidak membutuhkannya.
Lantas, jika kita berandai-andai perihal ruang transportasi yang ideal bagi kawan difabel, maka rasanya kita perlu mengimajikan perjalanan seseorang menggunakan transportasi umum.
Perjalanan menuju ruang transit
Perjalanan dari tempat asal menuju tempat transit angkutan umum, seperti halte dan stasiun, pada umumnya menggunakan jalur pejalan kaki (terdiri atas trotoar dan penyeberangan). Idealnya trotoar memiliki lebar minimum 1,8 m sehingga pengguna kursi roda dapat saling berpapasan. Trotoar juga dilengkapi fasilitas, seperti guiding block, lampu penerangan, tempat duduk, peneduh, papan petunjuk, dan ram yang memberikan kenyamanan dan keamanan bagi penggunanya.
Guiding block (ubin pemandu) untuk disabilitas netra harus terbuat dari material khusus dan warna yang kontras yang memberikan panduan pengarah dan peringatan. Kehadirannya harus menerus dan tidak boleh terhalang apapun. Selain itu, perlu dipastikan ubin pemandu terhubung hingga ruang transit.
Setelah berjalan di trotoar, beberapa pengguna jalan menggunakan penyeberangan untuk berpindah sisi jalan maupun masuk ke dalam tempat transit. Akses penyebrangan harus dibuat selamat dan aman dengan menyediakan permukaan yang rata, dilengkapi tombol penyeberangan dengan posisi yang mudah dijangkau, durasi penyeberangan memadai, serta dilengkapi fitur lampu dan suara. Di sisi lain, untuk penyeberangan tidak sebidang, ramp pada Jembatan Penyeberangan (JPO) perlu dibuat landai dan lebar yang memudahkan pengguna kursi roda. Selain itu, fasilitas lift prioritas juga dapat disediakan untuk kemudahan bermobilisasi.
Ruang transit inklusif
Tiba di tempat transit, kawan difabel masuk ke dalam stasiun/halte melewati pintu masuk (gate) dengan lebar yang memadai (minimum 92 cm). Posisi Tap-in dan tap-out dibuat mudah, serta audio ketika tap terdengar jelas. Di ruang tunggu, fasilitas seperti tempat duduk, toilet disabilitas, papan informasi audio dan visual perlu disediakan. Beberapa informasi penting yang perlu diperhatikan, yaitu informasi rute dan antrean, aduan, kedatangan bus/kereta, hingga pertanda pintu akan dibuka atau ditutup.
Ketika akan masuk ke dalam moda, ramp portabel atau hidrolik perlu disediakan guna menangani jarak celah antara platform dan moda angkutan yang terlalu jauh. Idealnya posisi platform dengan pintu moda memiliki level ketinggian yang sama atau sejajar. Selain itu, waktu terbukanya pintu moda perlu mempertimbangkan lama penyandang disabilitas naik/turun. Selain itu, petugas terlatih juga diperlukan untuk memberikan asistensi berupa komunikasi bahasa isyarat dan membantu membantu penyandang disabilitas memasuki moda angkutan.
Moda Transportasi Umum Inklusif
Ketika di dalam transportasi publik kepastian ketersediaan ruang dan kursi prioritas bagi penumpang difabel perlu tersedia. Ketersediaan ruang kursi roda perlu disediakan dengan dimensi dan jumlah yang cukup (minimal 2). Posisi ruang dan kursi prioritas ditempatkan di dekat pintu keluar untuk memudahkan akses. Informasi audio dan visual pada moda perlu dipastikan aktif dan memadai guna memudahkan pengguna mengetahui lokasi halte atau stasiun pemberhentian selanjutnya. Ketika ingin berhenti, kawan difabel dapat menekan tombol berhenti khusus disabilitas. Berbagai kota di dunia sudah lebih dulu menerapkan transportasi umum ramah difabel. Berikut beberapa contohnya:
1. Kopenhagen, Denmark
Kopenhagen menawarkan kemudahan bagi kelompok difabel yang menggunakan kursi roda. Akses trotoar dan stasiun dibuat ramah melalui penyediaan ramp dan lift memadai. Keberadaan ramp di tiap pintu tengah bus juga memberi kemudahan dalam mengaksesnya. Selain itu, Kopenhagen juga menghadirkan Wheelchair Accessible Van sebagai layanan taksi bersubsidi.
2. Singapura
Di Singapura, transportasi umum yang mudah diakses bagi penyandang disabilitas. 95% trotoar pejalan kaki, halte taksi, dan tempat penampungan bus mudah diakses penyandang disabilitas. Tersedianya informasi, petugas terlatih, dan akses lift juga memberikan kemudahan bermobilisasi dengan transportasi umum. Sebanyak 85% bus umum ramah pengguna kursi roda, didukung layanan antar-jemput gratis dan rental kursi roda terjangkau
3. Sydney, Australia
Di Kota Sydney, kemudahan akses terasa di berbagai fasilitas transportasi, seperti di layanan metro, kereta ringan kereta, bus, dan feri. Namun, yang menarik ragam inovasi inklusif tampak dari keberadaan Peta Toilet Nasional turut menyediakan informasi toilet yang dapat diakses kursi roda. Tidak hanya itu, sistem Legible Sydney Wayfinding System (Sistem Penunjuk Jalan yang Mudah Dibaca) memungkinkan banyak papan nama jalan hadir dengan sentuhan huruf braille.
4. Rio De Janeiro, Brazil
Kota Rio memberikan bebas tarif bus dan metro untuk pengguna kursi roda. Selain itu, kebutuhan pengguna kursi roda seperti lift prioritas, jalur yang landai, ruang khusus kursi roda di kereta, hingga jarak antara kereta dan peron stasiun sangat kecil, juga dipenuhi. Selain itu, taksi khusus untuk pengguna kursi roda dengan sistem reservasi juga menjadi layanan penyandang disabilitas.
Layanan Paratransit
Paratransit merupakan layanan transportasi khusus dari pintu ke pintu (door to door) bagi penyandang disabilitas yang tidak dapat menggunakan sistem angkutan rute tetap. Cara kerja layanan paratransit adalah On Demand Transportation (sesuai permintaan) atau seperti taksi yang dapat dipesan untuk menjemput kapanpun dan dimanapun. Melalui aplikasi atau telepon, layanan ini dapat dipesan di hari yang sama, hingga seminggu ke depan.
Paratransit menyediakan mobilitas yang lebih fleksibel serta menghemat waktu tempuh dan tenaga. Dengan dukungan tenaga fasilitator dan fasilitas yang memadai, layanan ini memberikan jaminan keselamatan yang lebih tinggi. Namun, biaya layanan yang tinggi sering menjadi tantangan, sehingga subsidi diperlukan untuk mendukung layanan ini. Contoh kota-kota yang telah menerapkan paratransit untuk transportasi disabilitas seperti New York (Access-A-Ride), London (Dial-a-Ride), dan Jakarta (Motion Aid).
Di Indonesia, seperti di Jakarta dan Yogyakarta, layanan paratransit untuk pengguna kursi roda banyak tersedia secara informal. Kendaraan kecil, seperti sepeda motor, dimodifikasi untuk mengakomodasi kebutuhan pengguna kursi roda. Pengelolaannya dilakukan secara perorangan maupun sewa. Penyediaan paratransit informal ini menjadi alternatif dari paratransit formal yang secara biaya modifikasi cukup mahal. Di sisi lain langkah baik mulai tercipta oleh Motion Aid di Jakarta yang menawarkan layanan paratransit bagi penggunanya.
Urun Daya Menyediakan Transportasi Ramah Difabel
Sebagai pengelola kota, Pemerintah bertanggung jawab menyediakan akses transportasi ramah difabel melalui pembuatan kebijakan dan perencanaan transportasi publik ramah disabilitas yang partisipatif. Pihak-pihak terkait (stakeholders), seperti komunitas, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), swasta, akademis dan masyarakat umum perlu dilibatkan dan bekerjasama dalam menentukan kebutuhan dan standar teknis fasilitas.
Dalam implementasi kebijakan dan rencana, Pemerintah perlu bekerjasama dengan operator angkutan umum (Swasta/BUMD) untuk menyediakan fasilitas berkebutuhan khusus dan layanan khusus, seperti subsidi biaya transportasi untuk penyandang disabilitas. Penerapan layanan paratransit khusus penyandang disabilitas juga dapat menjadi alternatif moda yang lebih fleksibel.
Komunitas dan LSM berperan penting dalam mengadvokasi suara, menyampaikan hak yang setara, dan memahami isu disabilitas. Jejaring aktif antar komunitas dibutuhkan untuk pertukaran informasi, penghasilan ide-ide baru, dan kerja sama. Di sisi lain, akademisi dapat melakukan penelitian dan pengembangan inovasi baru serta mengejawantahkannya sebagai masukan untuk kebijakan dan rencana.
Terakhir, masyarakat umum harus peka hak difabel, sesederhana tidak menghalangi jalur pemandu dan tidak menggunakan fasilitas prioritas (jika tidak termasuk kelompok prioritas). Pada akhirnya, seluruh stakeholders berperan mengawasi dan mengevaluasi implementasi kebijakan dan rencana, sehingga setahap demi setahap, perwujudan imaji fasilitas transportasi publik ramah difabel semakin dekat.