Lingkungan
10
menit membaca

Kota Kita Makin Panas, Bagaimana Vegetasi Harusnya Berperan?

Jumat, 17 Januari 2025
Periset & Penulis
Adam Rafieariq A.P.
Editor
Raihan Hasya

Peran vegetasi, seperti hutan, dalam menyerap karbon mengalami polemik belakangan ini. Menurut studi yang dilakukan di 2023, ditemukan bahwa minimnya performa penyerapan karbon oleh hutan disebabkan tingginya produksi polutan tersebut.

Rapid urbanization, selain meningkatkan aktivitas ekonomi, juga memunculkan ragam masalah, seperti kesenjangan sosial, degradasi lingkungan, hingga potensi bencana. Laju urbanisasi–atau perpindahan masyarakat dari desa ke kota–telah dilakukan dalam jumlah dan ukuran yang besar. Saat ini, sekitar 52,9% populasi Asia–sekitar 2,5 miliar penduduk–tinggal di wilayah perkotaan. Hal ini menandai peningkatan yang signifikan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya dan sejalan dengan tren yang memperkirakan bahwa lebih dari 64% populasi Asia akan mengalami urbanisasi pada tahun 2050.

Menjawab hal tersebut, kawasan kota juga terus diperluas dan dibangun lebih lanjut untuk mendukung hal tersebut. Perluasan dapat dilakukan secara relatif memenuhi kebutuhan atas kawasan tinggal tersebut. Problematika atas hal ini mengakibatkan peningkatan konsumsi energi dalam aktivitas kawasan perkotaan serta pendukung, seperti pembukaan lahan untuk hunian, perkebunan/lahan produksi pangan.

Kegiatan pengalihfungsian lahan ini menimbulkan efek Urban Heat Island atau (UHI) pada kawasan perkotaan. Efek UHI didefinisikan sebagai perbedaan suhu antara lingkungan yang dibangun dan lingkungan alam (lingkungan). Suhu yang relatif lebih panas di suatu kota dibandingkan dengan daerah pedesaan di sekitarnya, dapat diakibatkan oleh  terperangkapnya panas. Pembangunan rentan dilakukan dengan permasalahan, semisal ketidaktepatan penggunaan lahan, termasuk tata letak jalan dan ukuran bangunan, serta hilangnya perangkat dan sifat penyerap panas dari bahan bangunan perkotaan, vegetasi, dan badan air. 

Polemik baru tentang kapasitas dan daya serap karbon

Peran vegetasi, seperti hutan, dalam menyerap karbon mengalami polemik belakangan ini. Menurut studi yang dilakukan di 2023, ditemukan bahwa minimnya performa penyerapan karbon oleh hutan disebabkan tingginya produksi polutan tersebut. Selain itu, performa penyerapan karbon di kawasan Asia Tenggara–letak Indonesia berada–cenderung mencatatkan performa berkebalikan dengan catatan karbon. Selama 20 tahun terakhir, hutan-hutan di Asia Tenggara secara kolektif telah menjadi sumber emisi karbon bersih akibat pembukaan lahan untuk perkebunan, kebakaran yang tidak terkendali, dan pengeringan tanah gambut.

Temuan dampak atas performa hutan atau kawasan hijau lainnya dalam menyerap karbon dapat berdampak pada kawasan permukiman. Dampak negatif ini ditemukan dalam produktivitas kerja, kesehatan, hingga terhadap kondisi finansial. Kondisi bekerja dalam iklim yang relatif lebih panas dalam perkotaan mengakibatkan ketidaknyamanan termal yang menurunkan produktivitas. Meningkatnya ketergantungan pada pendingin udara meningkatkan biaya energi, yang selanjutnya membebani keuangan rumah tangga maupun perusahaan. Permasalahan tambahan juga timbul dalam dampak kesehatan pernapasan dan gelombang panas, yang dapat menjangkit kelompok pekerja rentan yang kerap kali bekerja di luar ruangan.

Oleh karena itu, penting dilakukan investigasi mendalam mengenai kondisi ruang kota di Indonesia. Kondisi perkotaan dan tata kelola pembangunan di Indonesia juga perlu disimak untuk menghasilkan ekosistem ruang hijau yang bermanfaat dan sehat bagi kehidupan di kota.

Komitmen pemerintah dalam penentuan alokasi ruang hijau

Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional melalui Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN No. 22 tahun 2022 menetapkan alokasi penyediaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di bangunan. Regulasi ini diterapkan untuk mendorong dan mendukung aspek keberlanjutan ekologi, keseimbangan lingkungan, dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat khususnya di kawasan perkotaan. RTH diatur agar berfungsi efektif dalam menjaga kualitas udara.

Indeks Hijau Biru Indonesia yang selanjutnya disingkat IHBI merupakan salah satu komponen penyusun regulasi tersebut. IHBI dapat digunakan sebagai nilai perhitungan kualitas ruang terbuka hijau berdasarkan fungsi ekologis dan sosial yang bernilai tambah. Dalam  konteks implementasi, cerminan penerapan IHBI dapat dilihat pada nilai koefisien dasar hijau, yakni persentase bauran RTH pada suatu lahan yang didirikan bangunan. Di Jakarta, misalnya, konsep IHBI ini diintegrasikan dengan Koefisien Dasar Hijau (KDH), memungkinkan kota untuk memenuhi kebutuhan RTH melalui inovasi seperti taman atap maupun tanaman rambat.

Lantas, bagaimana kondisi idealnya?

Penambahan ruang vegetasi hijau di perkotaan, seperti taman kota, hutan kota, dan jalur hijau, terbukti mengurangi efek UHI yang menyebabkan peningkatan suhu udara di kawasan perkotaan. Vegetasi perkotaan dinilai berperan dalam mengurangi suhu permukaan melalui efek evapotranspirasi dan kemampuan peneduhan alami dari tanaman, sehingga membantu mendinginkan lingkungan perkotaan.

Implementasi perhitungan KDH menggunakan IHBI dapat mendatangkan refleksi baru tentang pentingnya peran vegetasi dalam kawasan persil atau rumah, maupun tersedianya RTH di kawasan perkotaan. Vegetasi memainkan peran penting dalam mencapai tujuan ini dengan memberikan pendinginan alami melalui naungan dan evapotranspirasi, yang mengurangi efek UHI. 

Misalnya, studi dalam inisiatif Cooling Singapore di Singapura menunjukkan bahwa infrastruktur ramah lingkungan yang strategis seperti pepohonan, koridor hijau, dan urban farming dapat mengurangi suhu lokal dan meningkatkan kenyamanan termal . Beberapa kasus tersebut dapat dicontoh dengan melihat penerapan proyek percontohan, seperti vertical garden pada Oasis Terraces–kawasan komunitas di Punggol–hingga peruntukkan urban farming bernama Citiponics pada atap gedung parkir. Vegetasi dalam bentuk fasad hijau dan taman atap menawarkan solusi praktis yang dapat ditiru oleh Jakarta. Contoh ini dapat diterapkan pada kawasan berkepadatan tinggi dengan alokasi lahan terbatas.

Dalam skala komunitas, warga, dan/atau rumah tangga, telaah lebih lanjut yang dapat dilihat diterapkan dalam skala rumah tangga atau ruang komunitas ialah Urban Farming. Urban Farming berkaitan dengan praktik menanam atau memproduksi makanan di wilayah perkotaan. Urban Farming dapat dilakukan di ruang perkotaan yang kurang dimanfaatkan, termasuk atap, bangunan terbengkalai, dan lahan kosong.

Gambar Kiri–Kanan: Titik Lokasi Pengukuran, Ilustrasi Jalan Tanpa Vegetasi, Hasil Simulasi Kenyamanan Termal


Penerapan urban farming juga menghasilkan nilai tambah berupa manfaat tambahan dalam bidang produksi pangan lokal dan mitigasi UHI. Produksi pangan lokal ini dapat mengeliminasi emisi karbon dalam produksi pangan di kawasan perkotaan. Selain itu, Integrasi ini tidak hanya menurunkan suhu permukaan tetapi juga meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam inisiatif ramah lingkungan. Hal ini ditunjukkan dalam studi kasus di distrik Tompeyan, Yogyakarta.

Urban farming di Tompeyan, Yogyakarta, adalah contoh nyata bagaimana inisiatif berbasis komunitas dapat menjadi solusi efektif untuk menghadapi tantangan perubahan iklim, khususnya dalam mitigasi Urban Heat Island (UHI). Di tengah keterbatasan lahan di kawasan permukiman padat, warga Tompeyan berhasil mengubah pekarangan kecil dan ruang-ruang tak terpakai menjadi lahan produktif. Selain membantu ketahanan pangan lokal, urban farming di kawasan ini terbukti mampu menurunkan suhu permukaan dan meningkatkan kenyamanan termal lingkungan. Simulasi dengan komputer menunjukkan adanya perbaikan signifikan pada kualitas iklim mikro di area dengan vegetasi dibandingkan area tanpa vegetasi.

Keberhasilan ini tidak hanya berdampak pada lingkungan, tetapi juga membawa manfaat sosial dan ekonomi. Aktivitas urban farming meningkatkan interaksi antarwarga, menciptakan peluang ekonomi baru, dan menanamkan kesadaran ekologis dalam masyarakat. Lebih jauh lagi, pendekatan ini mengurangi jejak karbon dari produksi dan distribusi pangan, menjadikannya strategi holistik dalam menghadapi tantangan perubahan iklim. Desa Tompeyan memberikan contoh mengenai inovasi lokal berbasis komunitas dapat menjadi inspirasi bagi kota-kota lain untuk mengembangkan solusi serupa yang berkelanjutan, bahkan dalam keterbatasan ruang. Dengan kolaborasi yang baik antara masyarakat, pemerintah, dan pemangku kepentingan lainnya, pendekatan ini dapat diperluas untuk menciptakan lingkungan perkotaan yang lebih ramah dan resilien terhadap perubahan iklim. 

Solusi lainnya yang dapat diterapkan ialah penggunaan material yang bersifat reflektif. Material ini dikarakteristikkan sebagai material yang meminimalisir penyerapan panas. Contoh dari material ini dapat diterapkan pada atap maupun cat luar. Pengerjaan jenis ini pada rumah diterapkan oleh masyarakat umum dalam upaya memodernisasi bangunan. Dengan menggunakan material yang tidak menyerap panas, penghematan atas penggunaan pendingin ruangan secara berlebihan dapat dilakukan dan menghilangkan ketergantungan dengan adanya partisipasi pasif bangunan.

Kita sebagai warga, perlu apa?

Untuk menerapkan strategi ini secara efektif, kolaborasi antar pemangku kepentingan—termasuk pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta—sangatlah penting. Instansi pemerintah menetapkan dan menegakkan standar peraturan seperti KDH, sementara pengembang sektor swasta didorong untuk memasukkan atap hijau dan ruang hijau yang dapat diakses dalam proyek mereka. Keterlibatan masyarakat lebih lanjut mendukung upaya ini dengan berpartisipasi dalam inisiatif penghijauan lokal dan menjaga kawasan hijau publik. Upaya kolaboratif memastikan bahwa KDH tidak hanya memenuhi kepatuhan terhadap peraturan tetapi juga berfungsi sebagai pendekatan proaktif untuk meningkatkan ketahanan perkotaan dan kesejahteraan masyarakat.

Menilik beragam fenomena tentang UHI yang terjadi di perkotaan, peran multidimensi menjadi penting untuk mencegah meningkatnya suhu di kawasan perkotaan. Oleh karena itu, ditarik beberapa kesimpulan atas temuan dan studi terkait untuk penanganan UHI:

  1. Warga atau masyarakat perlu menyadari ketersediaan ruang hijau di sekitar permukiman maupun tempat mereka bekerja. Solusi yang terjangkau meliputi urban farming, penggunaan material reflektif, dan pemahaman atas kebijakan pemerintah.
  2. Preferensi masyarakat dalam penggunaan material yang reflektif untuk pembangunan sarana dan prasarana bermukim dan bekerja. Material jenis ini dapat membantu mengurangi penyerapan panas oleh bangunan.
  3. Solusi urban farming memberikan keleluasaan dalam penyediaan sumber pangan dan juga penghilangan jejak karbon dalam transportasi makanan. Hal ini juga dapat menjadi nilai tambah pada bangunan dengan menyediakan vegetasi tambahan pada kawasan persil lokal.
  4. Penting bagi masyarakat juga sadar atas alokasi ruang hijau yang telah ditetapkan kebijakannya dalam bentuk nilai KDH berdasarkan luasan IHBI.