Perubahan iklim, Istilah yang kembali disuarakan Konferensi Perubahan Iklim Persatuan Bangsa-Bangsa (UNFCCC) pada COP28 tahun 2023 ini disebut sebagai krisis lingkungan yang berdampak atas keseluruhan aspek hidup: Cuaca yang makin panas, banjir, wabah penyakit, gagal panen, hingga aktivitas merugikan lainnya. Sebagai negara kepulauan dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia, Indonesia memiliki kota-kota pesisir yang harus menghadapi tantangan atas dampaknya.
Peningkatan permukaan air laut di Indonesia telah memberikan kerugian hingga lebih dari 11 triliun rupiah, tercakup atas kerusakan yang terjadi akibat rob, banjir, gelombang tinggi, dan abrasi, yang merusak akses jalan, sanitasi, hingga air bersih bagi permukiman di kota-kota pesisir. Keberadaan kota-kota pesisir juga menunjukkan bahwa terdapat kelompok masyarakat yang—mau tak mau—harus hidup bersama dengan konsekuensi pembangunan yang tak berkelanjutan.
Misalnya, masyarakat di Tambak Lorok, Semarang, yang harus merelakan modal pergi melaut untuk meninggikan rumah yang rusak akibat abrasi dan rob. Diperkirakan, ada sekitar 23 juta penduduk di pesisir Indonesia yang akan menghadapi ancaman banjir laut tahunan, karena peningkatan permukaan air laut pada 2050.
Cepat atau lambat, ihwal ini juga akan menyasar kelompok rentan: Anak-anak dan lansia. Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia telah mengakibatkan 400 ribu orang menderita infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). Data ini didukung dengan adanya lonjakan hingga 20 persen klaim asuransi yang dibayarkan untuk penanganan demam berdarah dan ISPA pada kuartal pertama 2024.
Seluruh aktivitas yang dilakukan oleh manusia berkontribusi pada dampak perubahan iklim, hingga setidaknya, dapat disimpulkan, jadi masalah yang diciptakan bersama-sama, sehingga penyelesaiannya perlu dilakukan secara partisipatif. Krisis iklim memang belum dirasakan seluruh kelompok, tapi tak melepas tanggung jawab kita untuk turut menyelesaikannya.
Salah satu bentuk keterlibatan negara dalam membantu menyelesaikan masalah ini adalah dengan dibuatnya program yang partisipatif. Program Kampung Iklim atau kerap disapa Proklim jadi salah satu yang telah berjalan. Namun, seberapa besar aksi ini dapat efektif?
Studi kasus Urun Daya Kota lakukan pada 6 (enam) Proklim di Indonesia berdasarkan ciri perubahan iklim yang paling mudah ditemui, serta keunikan dalam pelaksanaannya. Karakteristik lokasi, hingga jenis aksi adaptasi-mitigasi yang dilakukan pada keenam studi kasus menjadi fokus utama dalam melakukan analisis. Lantas, pelajaran apa saja yang dapat diambil?
Tiga dari enam studi kasus yang diambil memiliki karakteristik masyarakat bermata pencaharian rentan. Dampak perubahan iklim yang berkaitan erat dengan bencana hidrometeorologi seperti banjir, rob, dan kekeringan telah menghambat penghidupan masyarakat pesisir dan kelompok petani. Studi kasus di Madukoro, Tambak Lorok, dan Tugurejo, menunjukkan bahwa nelayan dan petani kesulitan untuk melakukan kegiatan produksi akibat cuaca yang sulit diprediksi.
Dalam jangka panjang, kesulitan produksi yang dialami nelayan dan petani akan mengganggu sistem ketahanan pangan kita. Ancaman perubahan iklim bagi mereka berpotensi untuk mendorong adanya transisi mata pencaharian. Tanpa dukungan diversifikasi sumber pendapatan, mata pencaharian nelayan dan petani dapat terancam.
Dampak Proklim di Madukoro, Tambak Lorok, dan Tugurejo menunjukkan bahwa aksi perubahan iklim pada kelompok masyarakat rentan memiliki fokus untuk meningkatkan ketahanan sistem produksi, seperti edukasi vokasional, melalui pengadaan Sekolah Lapang Cuaca Nelayan (SLCN), sosialisasi teknologi agrikultur, serta program lainnya.
Proklim yang diadakan di tiga studi kasus ini juga menunjukkan bahwa melalui aksi partisipatif, kelompok mata pencaharian rentan tetap bisa melakukan kegiatan produksi tanpa harus berganti profesi. Proklim yang terintegrasi dengan Kampung Wisata Bahari di Tambak Lorok, serta ekowisata bakau di Tugurejo ini menunjukkan bahwa dukungan lintas pemangku kepentingan jadi dorongan yang kuat bagi para nelayan untuk mencapai penghidupannya.
Pada studi kasus Proklim di Tambak Lorok, Tugurejo, Kampung Hijau Banjarmasin, dan Proklim Pandak, aksi perubahan iklim diintegrasikan dengan program pembangunan lain. Contohnya, Desa Wisata Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Tugurejo dan Pandak) maupun milik pemerintah daerah (Kampung Hijau). Pada keempat studi kasus tersebut, integrasi program pembangunan menunjukkan bahwa ProKlim dapat bersifat komplementer untuk mencapai target program lain.
Proklim di Kampung Hijau Banjarmasin menunjukkan adanya peningkatan vitalitas kawasan, karena insentif perbaikan dan revitalisasi prasarana dan sarana umum (PSU). Pencemaran sungai menurun, karena ada sistem pengelolaan sampah yang terkendali (3R). Tentunya, hal ini mendukung keberlanjutan aktivitas wisata susur sungai yang ada.
Akan tetapi, studi yang dilakukan di Tugurejo juga menunjukkan adanya tantangan dalam integrasi program ke depannya, karena berpotensi tumpang tindih. Artinya, ada potensi program yang dilaksanakan sifatnya berulang dan tidak berorientasi pada efektivitas adaptasi maupun mitigasi perubahan iklim. Meskipun kolaborasi pemangku kepentingan perlu dilakukan untuk menangani isu iklim bersama-sama, tapi integrasi program pembangunan juga menjadi hal yang penting untuk mencapai penanganan perubahan iklim yang efektif.
Masyarakat Proklim Sekip pada awalnya enggan dan sangat bergantung pada pemerintah setempat dalam menjalankan program. Akan tetapi, pembinaan yang dilakukan oleh dunia usaha, universitas, serta pemerintah dalam mengidentifikasi persoalan lingkungan secara bersama-sama mendorong adanya partisipasi yang interaktif. Bahkan, saat ini masyarakat Kampung Sekip telah berdaya untuk mengembangkan program ini secara mandiri. Beberapa masyarakat melakukan mengolah lele yang semula hanya digunakan untuk mengentas jentik nyamuk. Selain itu, juga ada upaya pengolahan sampah menjadi suatu kerajinan.
Kasus lain di Tambak Lorok, menunjukkan bahwa melalui Proklim, terdapat peningkatan partisipasi masyarakat untuk melakukan evaluasi rutin di balai warga. Dalam evaluasi ini, masyarakat bebas berpendapat untuk mengeluarkan ide-ide kreatif guna menumbuhkan kegiatan baru. Hal ini menunjukkan, keberhasilan Proklim sebenarnya adalah adanya gaya hidup rendah karbon yang diciptakan melalui upaya bahu-membahu dalam menjaga lingkungan tempat kita tinggal.
Hasil analisis dari enam studi kasus menjelaskan bahwa kunci untuk mengatasi perubahan iklim adalah aksi yang partisipatif. Perubahan iklim adalah dampak pembangunan tidak berkelanjutan yang diciptakan bersama. Peran serta seluruh pemangku kepentingan, termasuk masyarakat menjadi hal penting untuk membawa lingkungan ke arah yang lebih baik.
Pembelajaran dari keenam studi kasus Proklim menunjukkan bahwa penanganan perubahan iklim bukan hanya menjadi tugas beberapa pihak saja. Tugas yang perlu diselesaikan ke depannya adalah bagaimana Proklim dapat jadi alat yang terukur dan beri kontribusi, tidak hanya dampak perubahan iklim nasional, tapi juga target penanganan iklim global: Termasuk menurunkan emisi gas rumah kaca dan inventarisasi program pembangunan pada bidang adaptasi-mitigasi iklim. Untuk itu, sistem monitoring dan evaluasi yang mengukur emisi gas rumah kaca dari aksi ProKlim, serta inventarisasi dan pemetaan program lingkungan hidup perlu dibentuk.
Masyarakat sebagai pelaku utama Proklim harus mampu menjalankan program secara swadaya dan menerus. Oleh karena itu, kesadaran masyarakat perlu dipupuk guna meningkatkan partisipasi pada pelaksanaan program-program di lingkungan tempat tinggalnya. Guna mencapai target ini, pihak lain juga dapat terlibat. Dunia usaha, Lembaga Swadaya Masyarakat dan instansi lainnya dapat mengambil peran sebagai pembina dan pendukung program, sehingga Program Kampung Iklim dapat berjalan secara partisipatif dan berkelanjutan.